Detektor Polusi Lingkungan Secara Alami

Layaknya peralatan yang canggih, makhluk hidup di sekitar kita juga bisa menjadi semacam pendeteksi polusi. Dengan mengamati detektor alam, kita pun bisa tahu adanya pencemaran di suatu lingkungan.
1: Bunga
Prinsip kerja:
Bunga itu selalu memiliki wangi yang semerbak. Tapi, kadang ditemukan jenis bunga yang umumnya wangi, nggak tercium baunya. Kenapa, ya? Ternyata hal ini bisa disebabkan oleh polusi udara, khususnya emisi kendaraan bermotor. Wangi dari zat aromatik bunga yang dilepas ke udara sebagian besar langsung lenyap akibat terserap ozon dan senyawa nitrat dari emisi tersebut. Semakin tinggi polusinya, wangi bunga pun semakin berkurang bahkan nyaris hilang sama sekali. Jadi, jika menemukan bunga yang tidak wangi lagi, artinya tingkat polusi udara di daerah itu tinggi.
2: Lebah
Prinsip kerja:
Lebah bisa juga menjadi tanda-tanda adanya polusi, khususnya polusi udara. Jika terdapat sedikit, atau bahkan tak ada lebah, maka ditempat tersebut tercemar polusi. Menurut penelitian di University of Virginia, Amerika Serikat, hal ini masih terkait dengan hilangnya wangi bunga. Karena wangi bunga tidak tercium, lebahpun kehilangan sinyal untuk mencapai tanaman.
3: Terumbu Karang
Prinsip kerja:
Salah satu pendeteksi suatu perairan tercemar ialah melalui terumbu karang yang dimilikinya. Limbah, sampah, dan bahan bakar transportasi laut menghasilkan nitrogen dan zat polutan lain yang mencemarkan laut. Berbagai zat berbahaya tersebut dapat merusak terumbu karang. Maka, dapat disimpulkan bahwa di perairan yang terumbu karangnya rusak maka terdapat polusi air yang cukup parah.
4: Lumut
Prinsip kerja:
Kita juga dapat mencari tahu adanya polusi udara dengan mengamati lumut. Mudah saja gan, tinggal memperhatikan banyaknya jumlah lumut yang menempel pada batang pohon. Sebab, lumut akan sangat produktif di udara yang baik, namun sebaliknya akan menghilang jika udaranya berpolusi. Jadi, banyaknya lumut yang "menghiasi" batang pohon menjadi indikasi kalau udara masih oke gan. Di sisi lain, jika pepohonan "sepi" dari lumut, kemungkinan besar udara di sekitar tempat tersebut telah tercemar.

Rusia, Negeri Dingin yang Kini Terbakar Dihajar Suhu Panas hingga Kobaran Api

Dampak negatif perubahan iklim dirasakan oleh warga Rusia. Berawal dari pecahnya rekor suhu panas di Negeri Beruang Merah itu akhir Mei lalu, kebakaran yang membumihanguskan area hutan serta permukiman seluas hampir 2 ribu kilometer persegi sejak akhir Juli lalu belum padam. Sedikitnya, 53 nyawa melayang.

"SEKARANG kami bisa tegaskan bahwa fenomena abnormal di seluruh penjuru dunia belakangan ini telah mencapai puncaknya di Rusia," ucap Alexei Kokorin, kepala program iklim dan energi pada WWF Rusia, seperti dilansir BBC kemarin (10/8). Fenomena abnormal yang dia maksud adalah temperatur ekstrem musim panas di Rusia. Normalnya, temperatur maksimal berkisar 35 derajat Celsius. Kali ini temperatur mencapai lebih dari 40 derajat Celsius.

Temperatur ekstrem gara-gara perubahan iklim itu membuat api yang melalap hutan Rusia menjadi-jadi. Pemadaman yang dilakukan sejak titik api pertama terdeteksi akhir Juli lalu belum membuahkan hasil signifikan hingga kemarin. Asap yang terus mengepul dari hutan dan lahan pertanian yang terbakar mengakibatkan warga mulai menderita sesak napas. Terbatasnya jarak pandang juga menghentikan aktivitas penerbangan serta bisnis di Kota Moskow dan sekitarnya.

"Suhu panas di Rusia terjadi karena aliran udara yang konsisten dari kawasan selatan dan timur," terang Jeff Knight, ilmuwan yang khusus mempelajari variasi iklim di Badan Meteorologi Inggris. Kawasan selatan dan timur Rusia tersebut dipenuhi stepa alias padang rumput. Selain aliran udara panas, faktor lain yang sangat memengaruhi terjadinya suhu ekstrem di Rusia, menurut dia, adalah konsentrasi gas rumah kaca yang terus meningkat.

El nino yang terjadi tiap lima tahun sekali di sekitar Samudra Pasifik juga punya andil dalam memunculkan suhu ekstrem di Rusia. "Anomali suhu permukaan laut (el nino, Red) menciptakan penyimpangan temperatur di berbagai belahan dunia. Suhu panas yang sangat ekstrem muncul di kawasan barat Rusia. Sedangkan suhu dingin di bawah rata-rata terjadi di kawasan Siberia, belahan lain Rusia," papar Knight. Menurut dia, anomali tersebut bertahan beberapa hari ke depan.

Bahkan, jika efek rumah kaca terus memburuk, bisa jadi Rusia dirundung suhu ekstrem (baik panas maupun dingin) hingga beberapa tahun mendatang. "Karena itu, kita harus siap menghadapi kebakaran hebat seperti itu pada masa depan. Sebab, sangat mungkin musim panas dengan berbagai fenomena aneh semacam itu terjadi lagi," papar dia. Tanpa pengurangan emisi yang signifikan, lanjut dia, Rusia akan terjebak dalam suhu ekstrem selama minimal 40 tahun.

Dampak suhu itu bakal kian parah. Sebab, seiring dengan berjalannya waktu, akan semakin banyak permukiman yang tumbuh. Artinya, pepohonan yang berfungsi meredam panas dan menyerap karbon dioksida semakin habis. Area yang semula merupakan hutan dan lahan pertanian berubah fungsi menjadi kampung. "Semakin banyak manusia yang hidup di wilayah yang semula merupakan area hijau tersebut. Juga, semakin banyak hutan serta satwa penghuninya yang hilang," ungkapnya.

Namun, bukan hanya faktor alam yang membuat Rusia kalang kabut dalam menaklukkan api dan menghalau asap. Kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintahan Perdana Menteri (PM) Vladimir Putin beberapa bulan lalu tentang sentralisasi sistem pengendali kebakaran juga disebut sebagai biang bencana, terutama oleh kelompok aktivis pencinta lingkungan, Greenpeace Rusia.

"Sentralisasi itu membuat jumlah personel pemadam kebakaran berkurang banyak, sekitar separo dari jumlah awal," keluh Mikhail Kreyndlin, kepala program sumber alam yang dilindungi pada Greenpeace Rusia. Dia juga prihatin atas banyaknya jumlah satwa yang terpanggang bersama pepohonan yang habis dilalap api. Selain satwa berukuran besar, hewan berukuran kecil, termasuk serangga, terpanggang dalam musibah itu.