Analisa Lingkungan dengan mediator Katak

Sasi Kirono alias Ucok, pria berambut agak gondrong,berkaos abu-abu, dan selalu menyunggingkan senyum, menjadi nara sumber Obrolan Kamis Sore di bulan November 2010. OKS kali ini bertajuk “ Sekilas tentang bio-ekologi amfibi dan teknik pengamatan amfibi”.

“Survey yang saya lakukan di Kalimantan. Jadi saya kurang informasi mengenai katak di Jawa. Amfibi umumnya menghabiskan masa larva di air, dan setelah dewasa hidup di darat. Walau di selama hidupnya amfibi menyukai air, masa hidup di darat ini diperlukan karena tingginya tingkat persaingan tempat antar sesama jenis. Amfibi memiliki kulit yang tipis, lembab, tidak bersisik dan mudah menyerap air. Kulit amfibi diselimuti lendir sebagai alat bernafas dan punya kelenjar yang memproduksi racun dan hormon” Ucok membuka OKS.

Ucok juga menjelaskan bahwa beberapa jenis katak tidak mengalami metamorfosa. Selain katak, amfibi sebetulnya beranggotakan tiga bangsa, antara lain: Caudata (Salamander), ciri-ciri umum amfibi ini mirip kadal. “Bedanya dengan kadal, kulitnya betul-betul dilapisi sisik. Salamander tidak terdapat di Indonesia, distribusi yang terdekat ada di Vietnam dan Kamboja. Kini di Indonesia ada Salamander yang menjadi trend sebagai hewan peliharaan, yang biasa disebut Kadal air. Bukan tidak mungkin di suatu saat nanti salamander jenis ini akan menghuni Indonesia, karena dilepas oleh para pemelihara yang sudah mulai bosan. Hal ini juga terjadi pada Kura-kura brasil” papar ucok.

Selain Salamander, ada Caecilian atau Gymnophiona atau Apoda. Bangsa ini sekilas mirip dengan cacing berwarna kelabu kebiruan. Memiliki mata, tentakel dan ekor. Tentakel pada Caecilian digunakan sebagai organ sensor. Amfibi ini memiliki mata yang tertutupi kulit/tulang sehingga hanya bisa membedakan gelap dan terang. Kulit pada mata berfungsi menjaga mata saat menggali tanah, agar tidak iritasi. Bangsa ini terdapat di Indonesia walau cukup sulit ditemukan.

Bangsa yang ke tiga, yaitu Anura, atau sebangsa katak dan kodok. Saat ini ada sekitar 450 jenis Anura di Indonesia, dan bisa lebih banyak lagi jumlahnya, bila dilakukan lebih banyak survei amfibi di seluruh Indonesia. Anura ini tidak memiliki ekor. Kakinya ada yang berselaput ada yang tidak, bergantung pada habitat yang mereka tempati. Kalau tidak berselaput, biasanya hidup di darat, yang setengah beselapur umumnya hidup di air, sedangkan yang berselaput penuh biasanya yg hidup di pepohonan, membantunya waktu terbang,” jelas Ucok.

Umumnya katak berkembang biak dengan bertelur. Telurnya berada tidak jauh dari air dan ada yang disembunyikan di serasah dedaunan, di antara bebatuan di sungai, atau di permukaan air. Ada juga yang ditaruh di busa-busa yang bergantungan di atara dedaunan. Telurnya seperti jelly, dan bila telah menetas akan jatuh ke bawah, menempel pada punggung induknya, dan siap diantarkan ke air.

Saat mencari mangsa, umumnya diam dan menunggu, ini dilakukan oleh sebagian besar katak dan kodok yang berbadan besar, sedangkan yang bertubuh ramping biasanya lebih aktif berburu. Dalam mempertahankan diri dari musuh, katak dan kodok akan lari atau mengeluarkan air seni. Beberapa memiliki kelenjar paratoid yang akan mengeluarkan kelenjar racun saat pemangsa akan melahapnya, dan ia bisa melepaskan diri.

Untuk mengamati amfibi di alam, biasa dilakukan mulai sore menjelang malam sampai pagi hari. Cukup dengan membawa senter, buku catatan, alat tulis dan alat pengukur. Sedangkan untuk menangkap amfibi untuk keperluan identifikasi bisa dilakukan dengan membuat jebakan yang diletakkan di tanah yang dilubangi (menggunakan ember besar) serta dibuat peghalang, atau dengan menaruh jebakan di barang pohon (terbuat dari pralon). Beberapa jebakan di pohon ini bahkan dijadikan sarang oleh mereka.

Ucok bertanya, di mana kita bisa menemui amfibi? Bisa di sekitar hunian manusia, yaitu rumah dan lingkungan sekitarnya. Juga di hutan, sepanjang aliran sungai dan rawa.

Bagaimana bisa membedakan dunia katak dan kodok dari suaranya di sekitar rumah? Ada berapa jenis katak di Jakarta, apakah pernah ditemukan katak yang mengalami evolusi? Pertanyaan itu muncul dari Marina, DAAI TV.

“Membedakan katak dengan kodok dari suaranya agak sulit, kecuali bila sering berlatih. Setiap jenis katak dan kodok memiliki suara yang berbeda. Tetapi kalau membedakan secara morfologis cukup mudah. Belum banyaknya survey amfibi yang dilakukan di Indonesia membuat banyak daerah belum diketahui kekayaan jumlah jenis amfibinya. Di kampus UI, Depok pernah dilakukan pengamatan, dan ditemukan beberapa belas jenis katak dan kodok. Jenisnya hampir sama dengan lingkungan di sekitar sini,” Ucok menunjukkan telunjuknya ke sekitar kawasan CICO.

“Karena kulit kodok atau katak dapat menyerap air, maka polutanpun secara tidak disengaja akan terserap. Bila kadar pencemarannya sudah tinggi, bisa saja berakibat cacatnya keturunan katak tersebut, misalnya tidak memiliki telapak, berjari banyak bahkan pernah ditemukan berkaki enam. Karenanya katak dan kodok dapat merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan perairan”, papar Ucok menjelaskan pertanyaan dari Jeni Shannaz.

Menurut Ucok, sepertinya di masing-masing pulau terdapat katak atau kodok endemik. Di Jawa ada Katak batu, statusnya saat ini kritis, karena banyak ditangkap untuk perdagangkan. Dulu jumlah ekspor mencapai 4 juta ton/tahun untuk pasar Eropa.

Dalam beradaptasi, kodok buduklah yang paling bisa adaptasi, baik di tempat bersih atau di tempat jorok sekalipun.

Pertanyaan lain, dari Ferry Hasudungan, di hari ke berapa katak masuk ke jebakan? Dan bila sudah jadi binatang peliharaan, apakah dapat menjadi spesies invasif? “Dalam suatu pengamatan, dalam dua jam jebakan sudah dapat menangkap katak, tetapi lokasi penempatan jebakan juga memengaruhi. Spesies invasif sudah pernah terjadi, pada awal tahun 2000 suatu pengamatan di kampus IPB, Dramaga, menemukan suatu jenis kodok Afrika. Diduga ini juga berasal dari peliharaan, kebetulan habitatnya cocok dan dia bisa berkembang biak di sana. Salamander juga bisa seperti itu,” jawab Ucok.

Kembali Jeni menanyakan perihal umur katak yang siap untuk dikonsumsi dan lama hidupnya, mengingat jumlah ekspor katak yang cukup besar beberapa tahun lalu. Menurut Ucok, sebagian besar katak yang dipanen di alam tidak kenal umur, asal sudah besar. Untuk menduga umur agak sulit, harus dilakukan tes DNA. Umur hidup katak diketahui bisa mencapai 20 tahun.

Ucok juga menjelaskan tentang katak di Gunung Gede yang terkena jamur sitrid. Sekarang ini katak-katak yang di hutanlah yang terkena jamur. Katak yang tinggal di lokasi/kawasan urban justru tidak terkena jamur.

Menutup diskusi pada OKS, Ucok juga menyayangkan kurangnya literatur berbahasa Indonesia tentang amfibi, yang berbahasa inggris pun susah mendapatkannya. Kendala lain, amfibi masih dianggap binatang yang menjijikkan, sehingga sulit untuk mengenalkannya kepada publik. Berbeda dengan di Australia, amfibi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. [irma susilawati dana & jeni shannaz]

Obrolan Kamis Sore, 18 November 2010

Nara Sumber:

Sasi Kirono – Uni Konservasi Fauna IPB

From: Irma Dana
Subject: [SBI-InFo] OKS: Amfibi Bukan Hewan yang Menjijikkan
To: greenlifestyle@googlegroups.com, lingkungan@yahoogroups.com, sbi-info@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 23, 2010, 3:45 AM

Sejarah Pendakian Gunung dan Pecinta Alam

Di Indonesia sendiri sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan “Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju” di Papua. Nama orang Eropa ini dikemudian hari digunakan untuk salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yaitu Puncak Carstensz. Pada tanggal 18 Oktober 1953 di Indonesia berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama “Perkumpulan Pentjinta Alam” (PPA). PPA merupakan perkumpulan hobby yang dimaksudkan sebagai suatu kegemaran positif terlepas dari sifat maniak yang semata-mata ingin melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Perkumpulan ini bertujuan mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini selepas masa revolusi yang diwujudkan dengan mencintai alamnya serta memperluas dan mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya. Awibowo, salah satu pendiri perkumpulan ini mengusulkan istilah pecinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi.”Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini ?.” Satu kegiatan besar yang pernah diadakan PPA adalah pameran tahun 1954 dalam rangka ulang tahun kota Jogja, mereka membuat taman dan memamerkan foto kegiatan. Mereka juga sempat merenovasi Argodumilah (tempat melihat pemandang di desa Patuk) tepat di jalan masuk Kabupaten Gunung Kidul, Jogjakarta. PPA juga sempat menerbitkan majalah “Pecintja Alam” yang terbit bulanan. Namun sayang perkumpulan ini tidak berumur lama, penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung hingga akhirnya pada tahun 1960 PPA dibubarkan.

Sejarah pecinta alam kampus di Indonesia dimula pada era tahun 1960-1970 an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan dikeluarkannya SK 028/3/1978 tentang Pembekuan Total Kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan mula-mula pendirian Pecinta Alam kampus dikemukakan oleh Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964 ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah bekerja bakti di TMP Kalibata. Sebetulnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pecinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak Gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak hanya terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat, namun sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Setelah berbincang – bincang selama kurang lebih satu jam semua yang hadir antara lain : Soe Hok Gie, Maulana, Koy Gandasuteja, Ratnaesih (kemudian menjadi Ny. Maulana), Edhi Wuryantoro, Asminur Sofyan Udin, D armatin Suryadi, Judi Hidayat Sutarnadi, Wahjono, Endang Puspita, Rahayu,Sutiarti (kemudian menjadi Ny. Judi Hidayat) sepakat untuk membicarakan gagasan tadi pada keesokan harinya di FSUI.

Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu semua yang sudah disebut ditambah Herman O. Lantang yang saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu
IMPALA singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah pendapat ditampung akhirnya diputuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA. Kemudian pembicaraan dilanjutkan dengan membahas kapan dan dimana IMPALA akan diresmikan. Akan tetapi setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum yaitu Drs. Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata juga menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar merubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Nama ini diberikan oleh Bpk. Moendardjito karena menggangap nama IMPALA terlalu borjuis. MAPALA merupakan singkatan dari Mahasiswa Pecinta Alam, selain itu MAPALA juga memiliki arti berbuah atau berhasil. Dan PRAJNAPARAMITA berarti dewi pengetahuan. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat perlindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari oleh faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi. Sampai akhirnya diresmikanlah organisasi ini pada tanggal 11 desember 1964 dengan peserta mencapai lebih dari 30 orang.

Dalam tulisannya di Bara Eka (13 Maret 1966), Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.” Para mahasiswa itu diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, mencoba menghargai dan menghormati alam dengan menapaki alam mulai dari lautan hingga ke puncak-puncak gunung. Mencoba mencari makna akan hidup yang sebenarnya dan mencoba membuat sejarah bahwa manusia dan alam sekitar mempunyai kaitan yang erat. Sejak saat itulah Pecinta Alam merasuk tak hanya di kampus melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah ibadah, lorong-lorong bahkan ke dalam jiwa-jiwa bebas yang merindukan pelukan sang alam.

Sumber : E-mail dari MAPAKA STIKes Hang Tuah PKU

Pentingnya Koordinasi dan Persiapan

Mendaki gunung, masuk hutan, menjelajah rimba sambil melihat keindahan awan, alam, bukit dan gunung, merasa diri sangat kecil, tidak ada apa-apanya di tengah-tengah alam terbuka, merupakan suatu kenikmatan tersendiri, maka jangan heran banyak orang yang ingin melakukannya , lagi.. dan lagi…. walau kadang beresiko tinggi.

Bagi yang benar-benar pemula – yang belum pernah mendaki sebelumnya, tapi punya semangat tinggi untuk melakukannya sdfgs df

"Apa asyiknya capek-capek jalan kaki" ?

"Buat apa capek-capek jalan kaki naik turun bukit, naik turun gunung, dingin-dinginan nginap didalam hutan, tidur hanya beratapkan tenda dan beralaskan matras, apa lah lagi..." pertanyaan itu sering keluar dari orang-orang yang tidak pernah berhubungan dengan kegiatan di alam bebas, orang-orang yang tidak pernah berkenalan dengan namanya kemping, haiking, tracking dan sebagainya, sering kali kita dianggap orang-orang yang kurang punya kerjaan, walaupun memang kita terkadang kurang kerjaan, tapi pertanyaan tersebut pertanyaan yang tidak perlu dijawab, mending mereka diajak sekalian biar bisa merasakan capeknya jalan kaki dan dinginnya udara alam bebas.

"Naik gunung " Apa yang kita cari, apa yang kita dapatkan, apa yang kita rasakan , setelah semuanya terbentang luas dihadapan, ketika udara dingin mulai menusuk hingga ke tulang, ketika lelah mengerumuni, berat, haus dan cape. hanya rasa syukur kepada tuhan atas keindahan yang diberikannya yang dapat membayar semuanya.

Naik turun bukit, turun naik gunung, menerobos semak belukar menembus hutan rimba, tiap langkah kaki membawa raga semakin dekat dengan tujuan menjauhi rutinitas kehidupan, udara segar tanpa polusi, bening dinginnya air sungai alami, nyanyian ribuan flora fauna selalu mengiringi langkah kaki yang terkadang terasa lelah dan berat, kerikil-kerikil kecil, batu-batu gunung yang cadas tak menghalangi langkah-langkah kecil yang pasti.

Kebersamaan dan canda tawa disepanjang perjalanan adalah saat-saat paling indah sangat susah untuk dilupakan dan tidak pernah tergantikan, sebuah kepuasan yang tidak bisa dijelaskan dengan tulisan ketika langkah kaki sudah sampai ditujuan.

Apa asyiknya capek-capek jalan kaki ?
mungkin tidak ada asyiknya mungkin pula sangat mengasikkan, tergantung orang yang melakukan dan tergantung orang yang merasakan, dan tergantung tujuan yang ingin didapatkan.
- Capek, lelah memang
- Kebersamaan selalu ada disana
- Kepuasan batin ketika kaki sampai tujuan
- Canda tawa selalu mengiringi
- Udara bersih tanpa polusi keluar masuk paru-paru
- Sehat pastinya