Selamat Datang calon Dangsanak Hanyar

Selamat datang calon dangsanak-dangsanak hanyar kami, kami berharap semoga kalian semua bisa menghilangkan status “calon” yang melekat pada diri kalian sekarang ini, walaupun kita semua tau bahwa perjalanan kalian masih panjang.

Seleksi alamiah pasti akan terjadi, seleksi alamiah bukan seleksi yang datang dari kami, tapi seleksi tersebut datang dari diri kalian sendiri, dengan panjangnya perjalanan, niat kalian akan diuji, niat untuk menjadi saudara kami dalam naungan Mapala Apache akan diuji, tapi sekali lagi bukan dari kami, tapi dari diri kalian sendiri ujian tersebut datang, dan kami berharap semoga seleksi alamiah tersebut tidak banyak yang merontokkan kalian.

Mulai dari sekarang, harapan kami kalian sudah mulai mencoba memupuk rasa persaudaraan diantara kalian, jangan sampai dengan banyaknya kalian, kalian menjadi terkotak-kotak, kalian harus satu, satu saudara atas nama Mapala Apache STMIK Banjarbaru.

PERBURUAN MERBABU

Langkah kecil mengiringi kami menuju sebuah bak truk warna hijau bekas mengangkut pasir. Sisa pasir masih tertinggal di dalam bak yang terbuat dari kayu tersebut sehingga terlihat beberapa teman mencari alas untuk duduk. Beberapa teman lain sibuk mencari posisi dan pegangan. Nampak sebuah rantai besi melintang di tengah-tengah bak, mungkin untuk menahan dinding bak truk tersebut agar tidak miring ketika muatan penuh. “Sudah siap semua?” terdengar suara dari ruang sopir. Ternyata sopir truk tersebut memberi aba-aba kepada kami, dengan sedikit mengeluarkan kepalanya ke jendela menengok ke arah kami. “siap pak!”, salah seorang teman kami menjawab, dan kami pun berangkat. Hari itu.12 orang termasuk sayaberangkat dari kampus UNS menuju puncak merbabu.

Kami melakukan ekspedisi perjalanan sehubungan dengan rentetan rute pendakian gunung,dan kali ini pendakian Gunung Merbabu. Kegiatan petualangan ini memakan waktu dua hari satu malam (24-25 Juli 2010) menembus hutan dan sabana di kaki gunung merbabu.
Setelah beberapa jam perjalanan kami sampai di kaki gunung tidak jauh dari base camp pendakian. Beberapa teman langsung turun untuk beristirahat karena perjalanan kami yang kurang nyaman. Selain memang menggunakan truk pasir, sang supir yang kami pun tidak tahu namanya agak ngebut selama perjalanan. Kami melepas lelah dengan berisatirahat di dalam sebuah rumah penduduk yang dijadikan base camp dan teman-teman yang lain langsung mencari kamar mandi karena ternyata selama perjalanan mereka menahan rasa ingin buang air. Akhirnya kami beristirahat sambil menunggu waktu pendakian yaitu selepas isya.
Pendakian ini adalah yang pertama kali bagi saya, tak tahu kenapa saya bisa ikut dalam pendakian ini. Tapi sudah terlanjur sampai di lokasi, tidak bisa mundur lagi, tidak ada transportasi yang bisa mengantar saya pulang kecuali truk pasir yang menjemput kami besok sore. Sampai maghrib kami berada di mushola dekat lokasi base camp sambil merencanakan jalur pendakian dan perlengkapan apa saja yang masih kurang.
Selepas maghrib, kami melakukan checking akhir sebelum mulai pendakian sebentar lagi. Barang-barang bawaan saya keluarkan satu persatu, ada logistik, sarung tangan, kaos lengan panjang,sarung, dan sebuah senter. Saya cek satu persatu, setelah itu saya masukkan lagi kedalam carrier.
Udara malam kian dingin saja, hampir-hampir saya tidak berani mengambil air wudlu untuk sholat isaya. Keadaan sekitar yang sudah gelap, nampak hanya beberapa lampu di depan rumah penduduk yang menerangi jalan. Setelah sholat, kami berdoa bersama agar perjalanan kami nanti diberi kelancaran. Seorang teman langsung berdiri memimpin perajalanan kami, namanya Badak (panggilan akrab dia). Dia adalah temen saya dari jakarta, meskipun badannya sedikit gemuk tapi sudah berpengalaman mendaki beberapa gunung termasuk Gunung Merbabu ini.
Perjalanan pendakian kami mulai pada pukul 20.00 WIB. Jalan setapak dengan pohon-pohon besar dan tua mengiring perjalanan kita. Ditangan kami hanya ada headlamp yang menerangi jalan. Hampir-hampir kami tak dapat melihat sekeliling karena kondisi yang gelap, tapi sinar bulan separo sedikit membantu pandangan kami. Jalan yang kami lalui masih berupa jalan setapak dan parit-parit alami karena aliran air, sesekali terlihat papan petunjuk yang dibuat seadanya oleh pendaki terdahulu. Sampai pada sebuah percabangan jalan, Mas Agus sang penunjuk jalan kami terlihat agak ragu dan bertanya-tanya sendiri untuk memilih jalur yang benar. Dia memutuskan mengambil jalur kiri, semakin lama kami-pun ragu karena jalan yang kami lalui semakin kecil dipenuhi semak. Ternyata jalan yang kami tempuh beberapa meter dari persimpangan tadi bukanlah jalur sebenarnya, akhirnya kami kembali ke persimpangan dan mengambil jalur kanan.
“Datar…!!!” teriak salah satu teman kami untuk mengisyaratkan istirahat sejenak. Hal ini dilakukan karena kepercayaan teman-teman yang tidak boleh berkata lelah, capek dan lainnya agar dapat sampai di puncak. Memang kami sering beristirahat karena jalur pendakian yang tidak terlalu bagus selain itu juga untuk mengkoordinir teman-teman yang tertinggal. Seteguk air yang kami bawa sedikit mengurangi dahaga, dan setelah beberapa menit kami melanjutkan perjalanan. Karena ini adalah expedisi pertama saya dalam pendakian, sepanjang jalan saya bertanya sendiri apa enaknya mendaki gunung.
Perjalanan berlanjut, waktu sudah mendekati subuh tapi puncak yang kami nantikan belum nampak juga. Kami sudah sampai di sabana, pepohonan besar dan tua sudah jarang terlihat. Sejauh mata memandang hanya ada perbukitan yang dipenuhi rumput-rumputan. Kami beristirahat agak lama di sabana, sampai-sampai hampir semua teman-teman tertidur karena lelah yang menghinggapi. Kami pun melanjutkan perjalanan yang saya belum tahu kapan akan sampai di puncak. Kami terbagi manjadi tiga kelompok karena sebagian teman-teman melanjutkan perjalanan setelah subuh dan sebagian lagi memilih menunggu di sabana. Jalan yang kami lalui semakin terjal, kadang saya harus menggapai rumpun rumput diatas saya untuk bisa naik. Interval istarahat kami semakin sering, baru lima langkah naik kaki kami sudah letih. Bukit yang tadi terlihat tinggi, sekarang sudah lebih rendah dari posisi kami sekarang.
Akhirnya kami bertujuh sampai di puncak gunung merbabu. Disini hanya terlihat tanah datar yang tidak terlalu luas, sebuah monumen setinggi setengah meter menandakan puncak Merbabu dan sebuah jas hujan warna cokelat tersampir menyerupai tenda. Sinar merah matahari menyingsing dari timur, dibawah kami samar-samar awan kabut mengelilingi puncak gunung, angin berhembus kencang membuat saya semakin merapatkan pakaian. Sholat shubuh kami lakukan sebagai bentuk syukur akan karunia Allah SWT yang sangat besar kepada hambanya. Beberapa menit kemudian kelompok kedua berhasil mencapai puncak dan bergabung dengan kami.
Matahari semakin naik memancarkan sinarnya, kondisi sekitar yang tadinya gelap sekarang sudah terlihat. Awan kabut dibawah kami bagai lapangan putih yang terhampar luas, puncak gunung lain terlihat kecil dan angin yang kami rasakan tak sedingin tadi tapi masih kencang menerpa wajah kami. Setelah pukul 7.00 WIB, kami turun gunung. Di sabana kami bergabung dengan kelompok ketiga yang tidak meneruskan perjalanan sampai ke puncak. Ternyata jalan turun tidak semudah saat pendakian. Meskipun turun dan kondisi jalan yang terang, tapi saya harus menahan berat tubuh dan tas saya. Setelah berjam-jam perjalanan turun, kami sampai di base camp. Kami beristirahat sambil menunggu truk pasir jemputan kami. Meskipun berat medan yang kami lalui, tapi itu semua terbayar dengan rasa pusa bisa menyaksikan indahnya ciptaan-Nya sepanjang perjalanan menuju puncak Merbabu.

PERBURUAN PUNCAK MAHAMERU

MENDAKI tengah malam pada medan berpasir menjadi pengalaman tersendiri, sepatu lapangan terbenam kedalam jalan pasir membuat langkah kaki semakin berat. Udara malam yang dingin membuat pendaki tidak sanggup untuk beristirahat lama-lama, karena tubuh yang tidak bergerak lebih cepat terasa lebih berat…”
PADA september 2010 kemarin, aku melaksanakan kegiatan Ekspedisi Pendakian dan Pendataan 4 Puncak Tertinggi Pulau Jawa. Gunung yang dituju adalah Gunung Ciremai (3.078 Mdpl), Merbabu (3.145 Mdpl), Lawu (3.265 Mdpl) dan Semeru (3.676 Mdpl).

aku didampingi tiga orang teman dari Jakarta sebagai pengiring. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari tour memburu puncak gunung di jawa.

Untuk pelaksanakan ekspedisi ini, tim ekspedisi telah melaksanakan berbagai persiapan sejak seminggu sebelumnya yang meliputi latihan fisik, perizinan, pendanaan serta melakukan simulasi ke Gunung Marapi dan kawasan perbukitan Limau Manis. Dalam simulasi tersebut, kami mempraktekkan ilmu-ilmu kepecintaalaman seperti Navigasi Darat, Botani & Zoologi, Ilmu Penafsiran, Manajemen Perjalanan dan sebagainya.

Pada pelaksanaan ekspedisi, mereka mengumpulkan data-data mengenai topografi, iklim, vegetasi, sosial budaya, Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) dan lainnya. Dengan demikian, kami semakin menguasai dan mahir dalam mempraktekkan ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dalam proses keanggotaan sebelumnya.

Berikut ini: catatan perjalanan mereka ke Gunung Semeru

Gunung ini termasuk dalam kawasan suaka alam Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Pada kutipan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 19 Ayat 5 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap kawasan suaka alam.

Sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru ini telah dijadikan target atau tujuan yang harus dicapai oleh para penggiat alam bebas. Puncaknya disebut-sebut sebagai salah satu pilar yang ikut “menyangga langit” Indonesia. Rasanya akan terasa kurang jika tempat dengan predikat puncak tertinggi di Pulau Jawa ini tidak terkunjungi.

Sebelum sampai di puncak Gunung Semeru, akan dijumpai sebuah danau yang cukup luas bernama Ranu Kumbolo. Di sekitar danau ini, terdapat padang rumput savana yang cukup luas. Biasanya para pendaki menggunakan lokasi ini sebagai tempat camp pada hari pertama.

Setelah dari Ranu Kumbolo, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki sebuah bukit yang akan melewati Tanjakan Cinta. Sesuai dengan namanya, tanjakan ini memang kerap untuk mempertemukan sepasang manusia untuk menjalin cinta. Karena apa? Karena Tanjakan Cinta ini merupakan tanjakan yang landai namun cukup panjang yang mengandung pasir dan debu dan ini terbukti sama seperti yang saya rasakan. Lebih kurang 2 jam waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai di puncak bukit ini. Dengan kondisi demikian, tentu saja para jomblo akan segera memasang niat agar lawan jenisnya tertarik saat menaiki tanjakan ini. Inilah salah satu daya tarik tersendiri dari Gunung Semeru. Buktiin aja sendiri…

Panjang jalur pada pendakian gunung ini ± 17 km. Sebaiknya membawa peralatan tambahan seperti masker dan kaca mata. Kedua peralatan tersebut berguna sekali dalam perjalanan, karena jalan dan pohon sekitar yang dilewati tertutup abu vulkanik yang hampir setiap saat dilontarkan oleh kawah Semeru. Bunga Edelweis sudah bisa ditemui di sepanjang jalur pendakian mulai dari Ranu Kumbolo.

Camp hari kedua, tersedia dua lokasi yang bisa dipilih para pengunjung. Lokasi pertama bernama Kalimati berupa padang savana yang cukup luas serta dikelilingi Edelweis yang tumbuh berkelompok. Pada lokasi ini, terdapat sumber air terakhir. Tempat camp kedua bernama Arcopodo. Sekitar 10 menit perjalanan dari Kalimati. Kawasan ini ditumbuhi hutan cemara yang cukup rapat dan medannya berupa tanjakan. Tenda didirikan di sepanjang kiri kanan jalur dan berakhir pada cadas Semeru.

Memasuki cadas Semeru, kita akan langsung berhadapan dengan tanjakan terbuka yang cukup panjang, berbeda dengan Arcopodo yang masih ditutupi hutan cemara. Pada cadas ini hanya terdapat satu batang pohon Cemara yang sering disebut sebagai Cemoro Tunggal. Pohon ini sekaligus berfungsi sebagai patokan jalur, karena tumbuhnya sejajar dengan jalur pendakian, terutama jika dilihat dari puncak Semeru (Mahameru). Masker dan gaiter menjadi salah satu perlengkapan yang harus digunakan oleh pendaki di jalur ini.

Puncak Mahameru dengan ketinggian 3676 mdpl menghadirkan sebuah fenomena alam tersendiri pula. Kawahnya yang dalam bahasa Jawa disebut Jonggring Soloko akan menyemburkan batuan vulkanik dengan didahului asap tebal yang membumbung tinggi setiap saat dalam jangka waktu 15 – 30 menit.

Kronologis Perjalanan:

Senin 21 September 2010

Sekitar pukul 07.30 WIB, kereta api yang ditumpangi tim ekspedisi telah sampai di stasiun Kota Lama, Kota Malang. Dengan menyewa angkot Rp 20.000, perjalanan dilanjutkan menuju kampus Impala Unibraw dan sampai sekitar jam 08.00 WIB. Sesampai di Impala Unibraw, tim dan pengiring memutuskan untuk istirahat setelah melakukan serangkaian persiapan-persiapan terakhir sebelum pendakian ke Gunung Semeru pada esoknya.

Selasa 22 September 2010

Dengan menyewa angkot seharga Rp 60.000, tim berangkat dari Impala Unibraw menuju Tumpang pada pukul 08.00 WIB, dan sampai di Pasar Tumpang pukul 08.50 WIB. Di pasar ini, tim harus menunggu jeep yang akan mengantarkan ke Desa Ranu Pane yang memakan waktu lebih kurang 3 jam dengan tarif Rp 20.000/orang.
Sampainya di pos Ranu Pane pada pukul 12.00 WIB, tim harus mengurus perizinan untuk pendakian. Setelah itu dilanjutkan dengan makan siang di warung terdekat. Pos Ranu Pane termasuk dalam resort wilayah Konservasi Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan ketinggian lebih kurang 2.200 mdpl.

Selesai urusan perizinan dan makan siang, perjalanan pun dilanjutkan. Target hari ini yang harus dicapai oleh tim adalah Ranu Kumbolo. Jalan yang dilalui berupa jalan setapak yang cukup lebar dan berbelok-belok serta melintasi lereng-lereng bukit. Setelah itu barulah tim sampai di Ranu Kumbolo pada pukul 16.30 WIB.

Rabu 23 September 2010

Pukul 10.30 WIB, setelah sarapan pagi dan perlengkapan telah selesai di-packing, perjalananpun dilanjutkan. Target hari ini adalah tempat camp di daerah Kalimati. Sebelum meninggalkan Ranu Kumbolo, tim ekspedisi harus kembali menjalani pemeriksaan surat izin pendakian pada sebuah pos jaga Gunung Semeru, tepatnya sebelum Tanjakan Cinta.

Sesampainya di puncak Tanjakan Cinta yang memakan waktu 2 jam dari Ranu Kumbolo, perjalanan dilanjutkan dengan medan turunan yang melintasi padang savana yang cukup luas atau biasa disebut dengan Oro-Oro Ombo. Setelah itu barulah tim ekspedisi masuk pada daerah perbukitan hutan cemara. Jalur cukup terlihat jelas disini.

Kabut telah mulai menutupi kawasan Kalimati dan batas jarak pandang lebih kurang 10 meter. Tak berapa lama kemudian rintik hujan-pun mulai turun. Akhirnya pada pukul 15.30 WIB tim sudah sampai di lokasi camp. Semua anggota tim mulai bekerja berdasarkan job-nya masing-masing.

Menjelang pukul 20.00 WIB, briefing dan makan malam sudah selesai dilaksanakan. Dan waktunya untuk istirahat. Pada pukul 23.00 WIB, seluruh tim harus bangun lagi. Pendakian menuju Arcopodo dan puncak semeru kembali dilanjutkan. Pendakian ini harus dilakukan pada tengah malam, agar sampai di puncak pada saat matahari terbit. Selain itu, pendaki hanya boleh berkegiatan di puncak Semeru sampai jam 10.00 WIB. Karena dikhawatirkan kawah biasanya sangat aktif di atas pukul 10.00 pagi, semburan debu tebal berpasir dan gas belerang lebih sering terjadi dan sangat membahayakan keselamatan.

Dalam perjalanan ke puncak Semeru, tim ekspedisi bergabung dengan beberapa tim lainnya dan berjalan beriringan. Setelah melewati Arcopodo, rombongan harus melewati cadas Mahameru yang dilapisi pasir dan debu tebal. Mendaki tengah malam pada medan berpasir menjadi pengalaman tersendiri, sepatu lapangan terbenam ke dalam pasir, membuat langkah semakin berat dan udara malam yang dingin membuat pendaki tidak tahan istirahat lama-lama. Karena tubuh yang tidak bergerak, lebih cepat terasa beku.

Alhamdulillah….., tim sampai di puncak pukul 06.00 dan disambut sinar matahari pagi yang mulai menyinari dan menghangatkan tubuh. Kurang lebih selama 30 menit di puncak dan mengambil dokumentasi, tim ekspedisi langsung turun kembali ke tempat camp di Kalimati. Akhirnya pada pukul 08.30 WIB sampai di Kalimati.

Kamis 24 September 2010

Pagi ini tim baru saja turun dari puncak Semeru. Kondisi badan yang cukup lelah membuat anggota tim harus istirahat dulu di Kalimati. Pukul 14.00 WIB, setelah makan siang dilakukan pendataan Edelweis dimulai pada koordinat 105 : 065 dan beberapa orang lagi mengambil persedian air untuk masak malam yang tidak jauh dari lokasi camp dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan pulang pergi. Sumber air ini terletak pada koordinat 105 : 059 helai peta 1607 – 444. untuk hari ini tim ekspedisi kembali camp di Kalimati pukul 20.00 WIB setelah makan malam dan briefing selesai seluruh tim langsung istirahat.

Jum’at 25 September 2010

Setelah persiapan dan sarapan pagi selesai, pada pukul 10.00 WIB, tim ekspedisi mulai bergerak kembali ke Ranu Pane. Kurang dari 2 jam tim sampai di Ranu Kumbolo dan memutuskan untuk istirahat dan makan siang. Kemudian perjalanan kembali dilanjutkan ke Ranu Pane, dan akhirnya sekitar pukul 14.30 WIB.

Dari Ranu Pane perjalanan kembali dilanjutkan menuju kampus Impala Unibraw dan tiba di kampus tersebut lewat dari pukul 20.30 WIB. Sebelum mengakhiri kegiatan di Impala Unibraw, tim tetap melakukan evaluasi atas pergerakan di semeru secara keselurahan serta melakukan briefing untuk kegiatan esok harinya. Hasilnya, Tim berangkat ke Surabaya dengan tujuan utama pulang ke Solo